Tentang malam yang selalu mengiringi segala harapan, tentang siang yang rela menjadi kenangan. Pun keduanya memiliki hal yang Berbeda. Kepercayaanku kepada iman tak akan patah di telan sirna.
Kenapa masih saja berharap tanpa pernah tau arti dari betapa sakitnya berharap?!.
Kenapa kau begitu mudah menjatuhkan harapan lalu membiarkan begitu saja tanpa pernah memikirkan bahwa ada aku yang harus di pikirkan terlebihnya.
Tiba-tiba suasana lengah, sepih dan semakin sepih. Hilang perlahan hilang..
Dalam diam, dalam gelap..
Ingatan tak akan pudar begitu saja. Justru semakin dilupakan semakin memar rasanya mengingat, Lalu semakin cepat datangnya kata 'Aku masih merindukanmu kekasihku". Masih kau, dengar itu. (Kata-kata yang tak akan hilang dari segala hayalan).
Aku ingin bertanya: Jika kemarin adalah milik kita, milik dunia yang paling bahagia sebahagia yang pernah kita rasakan, Apa kau masih mengingat semua kebahagiaan itu?
Sepertinya pertanyaanku terlalu konyol untuk di bawa ke ruang yang seharusnya kita sendiri yang tau, bukan orang lain.
Kita pernah saling percaya, cinta tak akan kemana-mana, cinta tak akan datang walau kita tak pernah memberitahunya. Sekalipun, sedetikpun, sebab cinta itu datang dari kebiasaan yang sering kita bincangkan.
Bukankah aku terlalu mudah mematahkan kata, lalu menyambungnya begitu saja. Sementara kau? Kau bersusah payah menjatuhkan hatimu untukku lagi. Tapi, Kali ini ada yang beda dari biasanya. Apa kau tak seikhlas dulu, apa aku yang kurang memahami. Aku pikir, semua akan indah saat-saat nanti.
Diam . . . .
Diam dalam memikirkanmu lagi.
Diam dalam mendoakanmu lagi.
Diam dalam mimpimu lagi.
Sampai takdir yang benar-benar menjatuhkan kapan bahagia itu datang sepenuhnya.
-Fikri Ibrahim