Entah mengapa hilir sendu berirama tak tentu, menggerutu seperti menjadi lawannya kebahagiaan, Tanpa tau itu takkan membuatnya kembali ke masa kebahagiaan.
Ia sedih, lalu merenung; Apa-apa pasti resah, mengingatmu juga begitu.
Entah Mengapa, tiba-tiba keadaan berubah derastis ke angkah jarum jam yang tak disangka, membolak balikkan hati. Yang awalnya senang lalu sedih, tapi, yang ku dapati tak lagi kebahagiaan melainkan perih yang membuatku mengais seperti ini.
"Ingin ku iris segala penyebab luka, sedih hingga perih sampai luka semuanya hilang di telan bara. Pedih semakin sakit, terluka lalu membengkak dan membesar begitu saja"
Lagi dan tanpa perkembangan hati, semuanya menjadi merubah mood yang riuh gembira menjadi riuh senduh, hiup layuh di telan waktu.
Yang ku takutkan bukan kebahagiaan di akhir cerita, tapi....
Tuk mengucapkan kepedihan pun sangat sulit diucapkan. Seperti mulut, dan hati yang sakitnya bukan main sampai pikiran seakan terkunci,
Perih...
Tanpa sadar, linangan air mata yang senduh kini membasahi pipih, mengalir seperti air yang mencari daratan untuk tempat ia berhenti. Berkacalah mataku saat itu.
Mencari tau, Apakah rasa perih ini ada ikatannya denganmu?
Termenung menatap kepedihan, tanpa tau, apa bisa berteman lagi dengan namanya apa itu kebahagian.
Sesulit inikah menahan luka?
Sesakit inikah arti kasih sayang yang sesungguhnya itu?!
Tiba-tiba linangan semakin berderuh, tangis isak menjadi teman yang berkepanjangan, malam itu.
Aku berharap, ada jalan lain selain menangis. Terpikir sejenak tuk memeluk diri sendiri. Mendengkurkan lutut lalu kepala tertunduk perih, sakit, sakit dan sakit masih terasa sakit. Sakit kali ini bukan sakit biasa sperti sakit kemarin. Sambil memukul-mukul bantal yang tanpa pikir panjang, dan membayangkan bantal itu dada kamu yang tega gitu saja membiarkanku mengais perih di pipih ini. Semua sunyi, semuanya menjauh dari bahagiaku.
Terbayang-bayang dalam ingatan, semua ini pasti ada habisnya. Aku jenuh tuk memeluk dadamu yang tega membiarkanku begitu saja, dadamu yang tak tau kalau bahagia itu kita yang nyiptain, kita yang mencarinya, bukan orang lain.
Masih teringis sepih, teriris luka, tersayat perih.
Aku ingin pergi, menaruh hati hanya di atas sejadah. Bukan untukmu lagi.
Aku takut kehilangan bahagia yang bisa membuatku setengah gila.
Pikiran yang tak cukup panjang mengakhiri rasa gunda gulana, gelisah setengah hari. Dan, demi kebahagiaan. Inilah yang terjadi. Kamu harus mengerti mengapa kita selalu begini.
Bahagiaku adalah bahagiaku, juga bahagiamu, pun. Katamu sejak itu.
Ingin mengucapkan selamat tinggal, namun hati tak sanggup. Karna kita pernah merasakan apa namanya kebagiaan tak lebih dari kesedihan.
Untuk saat ini; Redamkan amarah tangis isak yang kemarin menemanimu bermalam-malam.
Salam untuk hatiku dan hatimu. Semoga kita bertemu, tentunya setelah kegelisahan gunda gulana sudah lelah berteman dengan kesedihan, kemarin.
-- Fikri Ibrahim
Salam galau untuk pagi ini: )
BalasHapusTulisannya udah bagus banget buat orang yang galau, tapi terlalu nyata kurang fiksinya:D Buat tulisan tentang bahagia dong jangan galau mulu.
Dan buat semuanya selamat membaca blog priapemula.blogspot.com