Rabu, 09 Maret 2016

Ekspetasi Kenangan

Seringkali hujan menghardik kenangan menjadi pelangi yang indah, kadang kala menjadi kelam seperti ingatan yang gelap. Semua titik kelamahan mencari-cari kesalahan, bahwa sekali salah tetap salah, katamu saat itu.

Hujan semakin deras, amarah semakin mengeras, tetapi rindu tetap menjadi berwarna tanpa adanya campuran warna buatan yang kau rakit sendiri. Hingga lengang tak temukan jalan pulang, ada rindu yang bertebaran di pelupuk matamu. Senyumnya semakin ranum, senduh tak karuan.

Seraya bernostalgia, tapi kenapa ragu padamu selalu mencari celah bahwa akan ada kesalahan untuk kedua kalinya. Dalam kotak keyakinan, padahal aku sudah mengisihnya sampai dengan penuh. Lagi-lagi keluh itu datang di gemuruh pikiran, apa yang harus ku lakukan jika yang ku perbuat semuanya salah dengan kenyataan. Sesalpun tak kunjung jemu, kepalaku di bayang-bayangi tanda tanya, terkait perasaan yang sempat ku jatuhkan kepada wanita lain, lalu aku melepaskannya begitu saja. Dan, entah kenapa rindu mengajakku untuk menekatkan kembali mengisih cerita yang berisikan kita (lagi).

Tanpa menoleh ke belakang, kini aku memilihmu kembali, lalu merangkulmu untuk mengirimkan kenangan kepada hujan. Sebelumnya, pecahan-pecahan keyakinan semakin bulat, semakin tekat dan beralasan semuanya tentangmu. Sambil menahan senyum tipis, terlena sudah bahwa aku menyesali pilihan yang kemarin.

Semua kejadian memang selalu berhubungan dengan kenangan, ketika aku melihat tempat yang pernah kita singgahi, ada senyum dan kesal yang didapati. Padahal harapan dari semuanya, kita bisa mengulang dan mengembalikan cerita, walaupun dalam pikiranmu semua butuh waktu untuk menjadikannya utuh.

Aku memohon; Jika bisa kembali, kembalilah. Jika tidak, biarkan hujan menjadi saksi panjang bahwa sahaja tetap menerkam pelukan-pelukan saat itu. Dan akan tetap ku ibaratkan kau adalah hujan dan aku adalah senja. Setelah kamu berhenti lalu aku menyinari, kita terbentuk menjadi pelangi.




Fikri Ibrahim, 9 Maret 2016

Minggu, 13 September 2015

Aku siapa dan kamu siapanya dia

Dia bilang telah salah langkah, dengan menikmati rasa yang semakin hari semakin menjadi-jadi. Sibuk menyayangi yang kita gak tau apa dia juga ikut sibuk menyayangi. Tak ku lihat lagi, apa yang tlah membutakan mataku. Di hantui perasaan, di datangi rasa kenyamanan. Syahdu dan rayu melumat menjadi satu. 

Entah kenapa, keraguan datang seenaknya. Melihatnya begitu mesra dengan orang yang sudah dekat, bahkan senyum sinis tak dapat ku bendung. Luka itu tertimbun sendiri, bahkan bayang-bayang kecemburuan merajalela tanpa mengenal siapa dia dan siapa yang merampas harapan perasaan ini.


Takkan kutemui sorang penyayang yang tiba-tiba merelakan jatuh ke pelukan dan tak ada ragu sekalian. Ku bayangkan lalu ku peluk kau yang bisa mengisi kekosonganku sejak hati meringis kesepian . Dan kau hadir memberikan seutuhnya. Sayangnya, perasaan itu perlahan lepas dan mungkin bisa di bilang sudah mulai jatuh ke orang lain yang bukan dengan kejelasan yang bernama aku. 


Sudahlah, eluh ini takkan pernah ada habisnya dan takkan pernah mati ditelan perasaan. Walau hadirmu bukan sampai berlarut hitungan bulan, tetap saja datangnya luka menambah kenangan yang harus ku tarik ke diri sendiri dan biarlah orang yang menggantikannnya menikmati kenyamanan yang kau tebar tanpa ada dusta seisinya. 


Ini sebenarnya bukan luka yang pertama atau kedua kalinya, mungkin melulu datang lalu pergi tanpa hitungan waktu. Perih yang kau titipkan bukan membuatku membencimu, melainkan menyadarkan bahwa aku di posisi yang seharusnya menghindar tanpa disuruh sekalipun.
Aku siapa dan kamu siapanya dia. Lirihku dengan mengelah nafas panjang. Pulanglah ke hati yang sudah berhenti kepadanya, berhentilah menebar kenyamanan kalau kau tau aku bisa saja merasakan kenyaman yang berlebihan dan yang jelas-jelas bukan untukku. Pulanglah dengan dia 



Fikri Ibrahim (im)




Rabu, 09 September 2015

Perihal Rindu

Dari sekian cerita, sekian duka lalu tawa. Kenapa harus sedini ini kau mengembalikan itu semua? Kau tau, aku bukan lagi orang yang menunggu untuk kau ucapkan selamat pagi kasih, atau selamat malam orang teristimewa yang terus menerus menjadi bahagiaku setelah senyum ibu. Gerutuhmu sejak itu.

Malam yang dingin di selimuti kenangan bercampur hayalan, kau semakin menjadi-jadi dalam hening di temani paduan suara dari kodok, bahkan suara jangkrik sekalipun. 

Kenapa kau masih sering muncul di ingatan, bukannya kau sudah ku suruh pergi sejauh-jauhnya. Jujur, aku malu. Aku malu pada amarahku, aku malu pada keluahanku, dan aku malu pada diriku yang sampai sekarang belum bisa mematahkan ego yang berkepanjangan.

Dengan keadaan seperti ini, aku tak bisa selalu melihatmu bahagia dengan teman-temanmu, kedekatakanmu dengan orang yang sampai sekarang aku gak tau siapa dia dan apa peran dia dalam hari-harimu. Masih berpikir sampai sekarang, aku yang berubah apa kau yang berubah. Aku yang sibuk dengan kuliahku, dan kau sibuk dengan kerjaanmu. Kadang kala aku ingin bercerita panjang lebar tentang apa yang ku rasakan di kampus yang ku anggap seperti penjara. Sementara itu, kau terlalu sibuk dengan duniamu, kau sudah mulai lelah mendengar keluhanku, tapi bukankah kita harus saling mendengar, saling menjaga. Aku menghawatirkanmu. 

Sampai sekarang, aku selalu menunggu. Menunggu kau memulai percakapan sederhana, memulai melemparkan perhatian-perhatian kecil yang ku anggap sudah istimewa sejak dulu. Entah kenapa, kau begitu berubah sejak mengenal dunia jalan-jalanmu. Menurutku, bukan tentang kau kemana pergi dan kemana kau melanglang buana. Tapi, tentang dimana kau bisa melebihkan waktumu untuk menanyakan apa aku disini baik-baik saja apa bukan? 

Hahaha, aku tertawa tertahan. Seakan hari hariku mulai berteman dengan sepih, kemanakah kabarmu? Apa kau merindukanku? Suara pelan menyeringai di ruangan yang berisikan peralatan kampusku. Jam dinding mulai menertawakanku, lampu lampu mulai mengejekku. Seakan mereka berkata, kau merindukannya ya? kau rindu sama kenangan dulu saat saat kalian bersama ya? Tiba-tiba hapeku terjatuh kelantai, dan aku tersadar dalam lamunan. 

Apa iya aku merindukannya? 

Dalam bisik, sudah biarkan saja do'a jadi pengantar rinduku dengannya disana. Biarlah ku menjadi seorang yang suka menahan rindu , asal nama dia masih sering muncul di dalam do'a. Pikirku dengan kuat. 

Malam terus berganti, rindu tak pernah berhenti. Tak ada yang bisa ku panjatkan selain do'a yang ridho agar kau disana lekas berhenti untuk bermain-main dengan duniamu. Sebab, masa depanmu sudah menunggu. Ini bukan tentang aku tak pernah memperdulikanmu, tapi ini perihal bahwa diam-diam aku meindukanmu. Segeralah memberiku kabar, segeralah membuatku tertawa lagi. Aku merindukanmu dalam diam. Dalam kelap malam yang indah. Semoga saja do'a do'a yang ku panjatkan menyadarkanmu, bahwa AKU RINDU KAMU.




-Fikri Ibrahim (im)







Kamis, 03 September 2015

Bagaimana cara melangkah tanpamu

Akhir-akhir ini gundah gulana mengejutkan si hati, entah aku yang sedang sakit atau aku yang sedang tak enak badan. Aku merasakan detakan jantung semakin mengencang dan perasaan megibah entah kemana-mana.

Di tengah malam dengan pikiran rindu yang meradang pun semakin menjadi-jadi, kau asyik memilukan kenyataan. Membuatku semakin merasa ketidaknyamanan ini berkepanjangan. Sempat aku berpikir; Jangan-jangan kau sudah merencanakan semuanya agar aku merasakan apa yang kau rasakan. Tapi, tak baik berpikiran begitu, dan akhirnya ku tarik lagi kata-kataku. 

Ku tatap langit dinding dengan hiasan bulan dan bintang yang sengaja ku rakit dari karton bekas sambil memejam lalu membuka mata, dan mengingat samar-samar tentang kisah kemarin. Aku merindukanmu. Itu yang sebenarnya terjadi, aku mengira semua akan baik-baik saja. Nyatanya, kau memilih menjauh, dan aku memilih terdiam membisu seperti orang kehilangan benda kesayangannya. Diamku hanya menambah hening di ruangan yang berukuran panjang 3x4 meter itu.

Dengan ketidaknyamanan yang menderah dihatiku, aku menimbang-nimbang apa aku pantas menjauh dari kisah kasih yang kita jalanin kemarin? Namun semudah itukah kau menjauh dariku, pikirku dengan ketidaknyamanan dihati. Aku berpikir keras, dan lagi-lagi aku bingung apa aku harus melangkah tanpamu dan melupakan semua yang kita alami?

Tiba-tiba ponselku berbunyi merdu, dan aku mengabaikan begitu saja sambil beranggapan: palingan broadchast doang, ah biarin sajalah dulu, pikirku dalam hati. Lalu 5 menit kemudian, ponselku bergetar kuat dan tak beraturan. Bengong sebentar dan masih saja mengabaikannya dan mikir gak ada apa-apa. Lalu ponselku semakin bergetar kuat untuk ketiga kalinya.  Tanpa mikir panjang, aku terbangun dan langsung mengecek ponsel dan kemudian perlahan entah kenapa mataku berbinar ketika menyimak pesan yang muncul di layar ponsel. Ada pesan yang panjangnya gak karuan. Aku tak bisa berkata-kata. Setahuku aku hanya menyayangi orang yang sayang denganku, tapi kali ini kenapa meski sesesak ini. Dadaku menahan amarah tangis, Kenapa kau memilih untuk menjauh dariku sementara kau tahu, hatimu sudah selayaknya menetap disini, di hati yang sudah kebal dengan ketidakwajaran yang ada sekarang. Tapi, bagaimanapun, ahh sudahlah. Isak tangis menemaniku berkepanjangan tengah malam itu.

Ku baringkan badanku dengan isak air mata dipipih. Laki macam kau tak pantas di tangisi, sudah cukup membuatku menangis di tengah malam gini. Sudahlah, sudah. Amarah mengibah semakin menjadi-jadi. Aku benci sama kau, aku benci . . . Sambil memukul-mukul guling. Pipih yang semakin memerah, mata yang semakin melebam dengan mimpi yang tak kuduga kenapa bisa begini. Kenapa kau setega ini. Masih meringis mengais kesedihan. Rasa kesal menjamur malam itu, dan malampun membawaku merana dengan bekas air mata di pipih.

Aku harus melangkah tanpamu, tapi bagamaimana caranya? Sementara kau masih membekas di ingatan. Walau kau setega itu, aku gak bisa dan gak akan pernah bisa membohongi perasaan. Jujur, kau pernah membuat nyaman yang melekat hingga bertahun-tahun. Dan, sekarang kau menjatuhkan air mata tepat di hari yang tak sepantasnya ada.

Aku pikir kita butuh jeda untuk hubungan yang kau anggap terlalu istimewa. Bagiku kau adalah laki yang mendewasakanku dengan keadaan seperti ini. Dan aku pikir Kita gak bisa memaksakan cinta yang menurutku sudah gak logis untuk di lanjutkan lagi, tapi sampai sekarang aku belum menemukan cara melangkah tanpamu. Sudahlah, sudah cukup menemaniku selama ini, sudah cukup. Kau tak perlu menjagaku lagi, aku sudah bisa menjaga diri sendiri. Walaupun belum seutuhnya. Yang ku tahu, kau adalah lelaki yang pernah menjadikan warna di hari-hariku.

Tak banyak inginku; Kau yang pernah ku cinta, kau yang pernah ku jaga dan kau yang pernah menjadikan warna di hari-hariku. Tolong ajari aku bagaimana caranya agar aku bisa melangkah tanpamu. Hanya itu saja. Hanya, itu, Saja !


-Fikri Ibrahim (im)

Selasa, 01 September 2015

Pergilah, sejauh-jauhnya

Nyaman yang bukan lagi milikku, melainkan milik harapan yang menjadi kenangan. Saat kau mematikan kata di sela-sela kebahagian yang seharusnya bermain di dalam pembicaraan. Jujur, aku tidak menyukai hal yang begituan.

Tiba-tiba asaku meringis sendiri, air mata mengalir tanpa permisi sampai tersendak tiada henti. Sepertinya aku terlalu memendam apa yang harusnya tak ku pendam. dengan ketidaksengajaan, hatipun semakin melebam, kau jahat dalam perihal menjaga perasaan. Harusnya aku sudah mengetahui sejak itu sebelum kau mengatakan " cinta memang sudah habis masanya " saat itu kita bersanda gurau membahas kenangan yang sudah-sudah dengan gerutuh tawah tiada hentinya.

Aku terdiam mendengar kata yang sederhana tapi menyadarkan perasaan. Mataku berkaca (lagi) untuk kesekian kalinya, bukan karena cengeng akan tetapi hati terlalu mudah untuk memahami apa arti dari isak air mata itu. Lebih baik menangis daripada harus tertahan di piluh dengan tersendak kesakitan.

Dulu kita memang pernah saling beradu hati untuk memperebutkan siapa yang paling tahan dalam menjaga perasaan. Bukan tentang siapa jagoan tapi siapa yang sadar bahwa cinta harus seperti sejatinya merpati putih yang terbang tinggi dan tak pernah ke lain hati.

Sebut saja aku orang yang pernah ada di hatimu dan bahkan sampai sekarang aku juga menganggap aku masih ada di hatimu. Walau sebutan bodoh sekalipun, kau harus tau hati tak akan pernah bisa berkata bohong. Sejujur-jujurnya aku menyangimu, aku pernah jatuh ke ruang yang paling dalam di hatimu. bahkan untuk mencintaimupun, aku sudah pernah jatuh lebih dalam lagi. Dan, boleh ku katakan itu hanya dulu.

Memiliki sudah pasti pernah ada dalam ikatan ini, akan tetapi lama kelamaan aku bukan lagi seperti memiliki. Aku seperti kehilangan seseorang yang bukan tak ku kenal sama sekali, tapi hampir seutuhnya aku mengenalinya. dengan keegoisan dan kesalahpahaman yang semakin menjadi-jadi, kita seperti jalan yang sudah terbelah, semakin jauh dan semakin tak mau tau.

Sekarang, silahkan menjauh sejauh-jauhnya tanpa menatapku kembali. Pergilah dengan kenyamanan yang bukan milik kita lagi. Aku tidak membencimu, aku menyukaimu. Sudahilah ketidaknyamanan yang sudah menjamur di renggangnya hubungan ini. Kau tak perlu menjaga perasaan itu lagi, kau tak perlu mencari tau tentang ini lagi. Aku sayang kamu, dan sekarang pergilah sekarang sejauh-jauhnya.


- Fikri Ibrahim -

Selasa, 02 Juni 2015

Aku dan kamu sama dengan kita yang belum benar-benar menjadi KITA.

Lonceng dengan nada dering, mengawali pagiku kembali dengan ramahnya menebar senyum. Beberapa menit kemudian, ada pesan yang membuatku terkagum malu lalu merasa kegilaan. Ini bukan tentang masalalu, ini tentang masa depan yang datangnya tak pernah ku duga, Beberapa kata dari perbait yang sudah merasuk kedalam gilaknya sampai terbawa bahagia. kali ini membuatku merasakan apa arti dari kata yang sudah kau ukir sebelumnya.

Perlu ku ketahui, ini bukan hal yang sering terjadi. Siapa sangka, kejutan seperti ini datangnya tanpa diduga. Setiap ku pejamkan mata, masih saja keingat dengan senyum yang menyapa pagiku. Bahagia sudah, bahagia.

Tanpa sadar, kau menyebutnya ini adalah takdir dari Tuhan tunjukkan kepada kita. Apa, kita? aku tertawa malu-malu. Sambil niruin gaya orang yang baru ngerasain jatuh hati. ciee kita. ah hati-hati dengan kita. Aku tak ingin ada salah paham yang bisa merusak hubungan dengan cerita di sekitar tanpa kita sadari. Dan, kaupun memancing dengan datarnya. Iya, kita. Katamu. Terus, aku dan kamu dong? Iya, aku dan kamu. Hahaha . ..
Tawapun mengakhiri percakapan sementara.

Aku dan kamu sama dengan kita.
Sambil memainkan pulpen di bawah dagu.
Kita? Kataku masih menyeringai senyum tanpa menyadarinya.
Hahaha, dan aku pun tertawa sendiri, serasa bahagia yang berkepanjangan. Ngecek hendphone, lalu mengirim pesan dan menanyakan sedang apa kamu disana? Tanpa basa basi, pesanpun terkirim. Pesanku di balas, kemudian entah kenapa. Semua terasa benar-benar akk benar benar bahagia. Dan dengan senangnya badanku ku jatuhkan ke tempat tidur lalu memainkan kaki ke atas, Sambil bernyanyi Lalala lalalala, aku bahagia, bahagiaa.

Hal yang paling gila, dia menyebutku lelaki romantis, lelaki dewasa dan memiliki suara yang mirip dengan salah satu penyanyi idamannya, padahal aku hanya lelaki biasa saja. Dengan datarnya menjawab.
Aku menduga, ini hanya rayuan agar aku merasa paling mirip, dan benar Ketika aku bernyanyi berulang-ulang kali, suaraku hancur dan gak ada mirip-miripnya sama sekali. Dalam hati, sepertinya dia hanya menghiburku saja, dan membuatku bahagia.
Dan lebih gilaknya lagi, akupun mengikutin cara dia membuatku bahagia dengan menyebutnya wanita yang mirip dengan penyanyi salah satu idamanku, wanita penikmat galau. Karna dengan akrabnya sering bercerita kepada teman-temannya. Dengan senangnya, kami pun saling menertawakan apa yang kami bicarakan. Lama kelamaan aku dan kamu benar-benar menjadi kita. Tapi, masih banyak takutnya. Dan, kami pun tertawa terbahak-bahak.

Singkat cerita yang belum kutahu, apakah kamu benar-benar menginginkan kata yang menjadi satu yaitu kita? Sementara rayuanmu seperti mengajakku untuk menjalanin ke yang lebih serius lagi. Tapi, masih saja aku menganggapnya biasa saja. karna kutahu, ini sama seperti yang sebelumnya. Bukan dengan orang yang itu lagi tapi orang yang baru. Orang yang sudah lama mendengarkan cerita, dan bercerita tentang kisah dukanya. Tak ingin saling salah paham, dan tak ingin takut mencelakai hati masing-masing. Maka dari itu, hati menunjukkan jalan lurusnya. Walau bahagia, walau sudah lebih nyaman dengan begini. Tak ada satupun yang memulainya dengan kata serius. Dan, lebih jelasnya hanya menginginkan saling perhatian, saling khawatir. Kalaupun di takdirin untuk bersama, bersabarlah kuncinya. Karna hal yang tergesah-gesah tidaklah membuahi kenyamanan.

Aku dan kamu sama dengan kita sudah bisa saling membahagiakan, kenapa masih saja malu untuk menuju ke jalan yang lebih serius. Ahh sudahlah.
Apapun ceritanya, apapun kisahnya. Hati masih saja berkata lebih nyaman dengan bagini. Semuanya mari serahkan kepada hati dan cerita di masa depan. Sampai ketemu, semoga saja kita bisa menjadi kata yang benar-benar menjadi kita. [Titik]



-Fikri Ibrahim-


Rabu, 01 April 2015

Masih berharap kepada takdir itu sendiri

Tentang malam yang selalu mengiringi segala harapan, tentang siang yang rela menjadi kenangan. Pun keduanya memiliki hal yang Berbeda. Kepercayaanku kepada iman tak akan patah di telan sirna.

Kenapa masih saja berharap tanpa pernah tau arti dari betapa sakitnya berharap?!.
Kenapa kau begitu mudah menjatuhkan harapan lalu membiarkan begitu saja tanpa pernah memikirkan bahwa ada aku yang harus di pikirkan terlebihnya.

Tiba-tiba suasana lengah, sepih dan semakin sepih. Hilang perlahan hilang..

Dalam diam, dalam gelap..
Ingatan tak akan pudar begitu saja. Justru semakin dilupakan semakin memar rasanya mengingat, Lalu semakin cepat datangnya kata 'Aku masih merindukanmu kekasihku". Masih kau, dengar itu. (Kata-kata yang tak akan hilang dari segala hayalan).

Aku ingin bertanya: Jika kemarin adalah milik kita, milik dunia yang paling bahagia sebahagia yang pernah kita rasakan, Apa kau masih mengingat semua kebahagiaan itu?
Sepertinya pertanyaanku terlalu konyol untuk di bawa ke ruang yang seharusnya kita sendiri yang tau, bukan orang lain.

Kita pernah saling percaya, cinta tak akan kemana-mana, cinta tak akan datang walau kita tak pernah memberitahunya. Sekalipun, sedetikpun, sebab cinta itu datang dari kebiasaan yang sering kita bincangkan.
Bukankah aku terlalu mudah mematahkan kata, lalu menyambungnya begitu saja. Sementara kau? Kau bersusah payah menjatuhkan hatimu untukku lagi. Tapi, Kali ini ada yang beda dari biasanya. Apa kau tak seikhlas dulu, apa aku yang kurang memahami. Aku pikir, semua akan indah saat-saat nanti.

Diam . . . .
Diam dalam memikirkanmu lagi.
Diam dalam mendoakanmu lagi.
Diam dalam mimpimu lagi.

Sampai takdir yang benar-benar menjatuhkan kapan bahagia itu datang sepenuhnya.


-Fikri Ibrahim