Akhir-akhir ini gundah gulana mengejutkan si hati, entah aku yang sedang sakit atau aku yang sedang tak enak badan. Aku merasakan detakan jantung semakin mengencang dan perasaan megibah entah kemana-mana.
Di tengah malam dengan pikiran rindu yang meradang pun semakin menjadi-jadi, kau asyik memilukan kenyataan. Membuatku semakin merasa ketidaknyamanan ini berkepanjangan. Sempat aku berpikir; Jangan-jangan kau sudah merencanakan semuanya agar aku merasakan apa yang kau rasakan. Tapi, tak baik berpikiran begitu, dan akhirnya ku tarik lagi kata-kataku.
Ku tatap langit dinding dengan hiasan bulan dan bintang yang sengaja ku rakit dari karton bekas sambil memejam lalu membuka mata, dan mengingat samar-samar tentang kisah kemarin. Aku merindukanmu. Itu yang sebenarnya terjadi, aku mengira semua akan baik-baik saja. Nyatanya, kau memilih menjauh, dan aku memilih terdiam membisu seperti orang kehilangan benda kesayangannya. Diamku hanya menambah hening di ruangan yang berukuran panjang 3x4 meter itu.
Dengan ketidaknyamanan yang menderah dihatiku, aku menimbang-nimbang apa aku pantas menjauh dari kisah kasih yang kita jalanin kemarin? Namun semudah itukah kau menjauh dariku, pikirku dengan ketidaknyamanan dihati. Aku berpikir keras, dan lagi-lagi aku bingung apa aku harus melangkah tanpamu dan melupakan semua yang kita alami?
Tiba-tiba ponselku berbunyi merdu, dan aku mengabaikan begitu saja sambil beranggapan: palingan broadchast doang, ah biarin sajalah dulu, pikirku dalam hati. Lalu 5 menit kemudian, ponselku bergetar kuat dan tak beraturan. Bengong sebentar dan masih saja mengabaikannya dan mikir gak ada apa-apa. Lalu ponselku semakin bergetar kuat untuk ketiga kalinya. Tanpa mikir panjang, aku terbangun dan langsung mengecek ponsel dan kemudian perlahan entah kenapa mataku berbinar ketika menyimak pesan yang muncul di layar ponsel. Ada pesan yang panjangnya gak karuan. Aku tak bisa berkata-kata. Setahuku aku hanya menyayangi orang yang sayang denganku, tapi kali ini kenapa meski sesesak ini. Dadaku menahan amarah tangis, Kenapa kau memilih untuk menjauh dariku sementara kau tahu, hatimu sudah selayaknya menetap disini, di hati yang sudah kebal dengan ketidakwajaran yang ada sekarang. Tapi, bagaimanapun, ahh sudahlah. Isak tangis menemaniku berkepanjangan tengah malam itu.
Ku baringkan badanku dengan isak air mata dipipih. Laki macam kau tak pantas di tangisi, sudah cukup membuatku menangis di tengah malam gini. Sudahlah, sudah. Amarah mengibah semakin menjadi-jadi. Aku benci sama kau, aku benci . . . Sambil memukul-mukul guling. Pipih yang semakin memerah, mata yang semakin melebam dengan mimpi yang tak kuduga kenapa bisa begini. Kenapa kau setega ini. Masih meringis mengais kesedihan. Rasa kesal menjamur malam itu, dan malampun membawaku merana dengan bekas air mata di pipih.
Aku harus melangkah tanpamu, tapi bagamaimana caranya? Sementara kau masih membekas di ingatan. Walau kau setega itu, aku gak bisa dan gak akan pernah bisa membohongi perasaan. Jujur, kau pernah membuat nyaman yang melekat hingga bertahun-tahun. Dan, sekarang kau menjatuhkan air mata tepat di hari yang tak sepantasnya ada.
Aku pikir kita butuh jeda untuk hubungan yang kau anggap terlalu istimewa. Bagiku kau adalah laki yang mendewasakanku dengan keadaan seperti ini. Dan aku pikir Kita gak bisa memaksakan cinta yang menurutku sudah gak logis untuk di lanjutkan lagi, tapi sampai sekarang aku belum menemukan cara melangkah tanpamu. Sudahlah, sudah cukup menemaniku selama ini, sudah cukup. Kau tak perlu menjagaku lagi, aku sudah bisa menjaga diri sendiri. Walaupun belum seutuhnya. Yang ku tahu, kau adalah lelaki yang pernah menjadikan warna di hari-hariku.
Tak banyak inginku; Kau yang pernah ku cinta, kau yang pernah ku jaga dan kau yang pernah menjadikan warna di hari-hariku. Tolong ajari aku bagaimana caranya agar aku bisa melangkah tanpamu. Hanya itu saja. Hanya, itu, Saja !
-Fikri Ibrahim (im)
Dengan ketidaknyamanan yang menderah dihatiku, aku menimbang-nimbang apa aku pantas menjauh dari kisah kasih yang kita jalanin kemarin? Namun semudah itukah kau menjauh dariku, pikirku dengan ketidaknyamanan dihati. Aku berpikir keras, dan lagi-lagi aku bingung apa aku harus melangkah tanpamu dan melupakan semua yang kita alami?
Tiba-tiba ponselku berbunyi merdu, dan aku mengabaikan begitu saja sambil beranggapan: palingan broadchast doang, ah biarin sajalah dulu, pikirku dalam hati. Lalu 5 menit kemudian, ponselku bergetar kuat dan tak beraturan. Bengong sebentar dan masih saja mengabaikannya dan mikir gak ada apa-apa. Lalu ponselku semakin bergetar kuat untuk ketiga kalinya. Tanpa mikir panjang, aku terbangun dan langsung mengecek ponsel dan kemudian perlahan entah kenapa mataku berbinar ketika menyimak pesan yang muncul di layar ponsel. Ada pesan yang panjangnya gak karuan. Aku tak bisa berkata-kata. Setahuku aku hanya menyayangi orang yang sayang denganku, tapi kali ini kenapa meski sesesak ini. Dadaku menahan amarah tangis, Kenapa kau memilih untuk menjauh dariku sementara kau tahu, hatimu sudah selayaknya menetap disini, di hati yang sudah kebal dengan ketidakwajaran yang ada sekarang. Tapi, bagaimanapun, ahh sudahlah. Isak tangis menemaniku berkepanjangan tengah malam itu.
Ku baringkan badanku dengan isak air mata dipipih. Laki macam kau tak pantas di tangisi, sudah cukup membuatku menangis di tengah malam gini. Sudahlah, sudah. Amarah mengibah semakin menjadi-jadi. Aku benci sama kau, aku benci . . . Sambil memukul-mukul guling. Pipih yang semakin memerah, mata yang semakin melebam dengan mimpi yang tak kuduga kenapa bisa begini. Kenapa kau setega ini. Masih meringis mengais kesedihan. Rasa kesal menjamur malam itu, dan malampun membawaku merana dengan bekas air mata di pipih.
Aku harus melangkah tanpamu, tapi bagamaimana caranya? Sementara kau masih membekas di ingatan. Walau kau setega itu, aku gak bisa dan gak akan pernah bisa membohongi perasaan. Jujur, kau pernah membuat nyaman yang melekat hingga bertahun-tahun. Dan, sekarang kau menjatuhkan air mata tepat di hari yang tak sepantasnya ada.
Aku pikir kita butuh jeda untuk hubungan yang kau anggap terlalu istimewa. Bagiku kau adalah laki yang mendewasakanku dengan keadaan seperti ini. Dan aku pikir Kita gak bisa memaksakan cinta yang menurutku sudah gak logis untuk di lanjutkan lagi, tapi sampai sekarang aku belum menemukan cara melangkah tanpamu. Sudahlah, sudah cukup menemaniku selama ini, sudah cukup. Kau tak perlu menjagaku lagi, aku sudah bisa menjaga diri sendiri. Walaupun belum seutuhnya. Yang ku tahu, kau adalah lelaki yang pernah menjadikan warna di hari-hariku.
Tak banyak inginku; Kau yang pernah ku cinta, kau yang pernah ku jaga dan kau yang pernah menjadikan warna di hari-hariku. Tolong ajari aku bagaimana caranya agar aku bisa melangkah tanpamu. Hanya itu saja. Hanya, itu, Saja !
-Fikri Ibrahim (im)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar