Selasa, 25 Februari 2014

Mengartikan Hati dan darah yang menahan.

Aku mendekati sedalam mungkin apa yang sudah menjadi kepekaanku, perlahan tak sanggup tuk ku rangkul, tak lagi bisa ku raih. Kau tau kenapa aku mengucap kasar seperti itu ! Karena betapa lembutnya hatiku untuk mengucapkannya akan tetapi bibir ini mengeras dengan sendirinya. Huuh sedih di raut wajah yang penuh dengan kegundahan.

Beralih ke arah yang mengesankan untuk berbicara hati ke hati, tak ku sangka ini bisa mengubahnya menjadi pelajaran yang sulit jika aku sungguh mendalaminya. Betapa lemahnya hati para lelaki jika mengetahui kepekaan itu sudah merajalela di dada. Hancur berkeping, perasaan semakin menakut-nakuti, kacau yang berlebihan. Begitulah sepertinya jika seorang lelaki tau kalau dia bisa menjadi kepekaan yang berkembang. Aneh tidak !

Semakin mendekat, rasa di jabah seperti pepatah kuno yang mengucapkan tak kenal maka tak sayang. Sama hal-nya dengan kepekaan ini, Aku sungguh belum mengenalinya apa arti dari ini semuanya. Kau bisa mendekatkanku dengan rasa ini tapi aku , aku belum mengenal sama sekali Apa ini. kau bisa mengajariku? Kau enggan begini karena aku tau kalau perasaan itu hanya bisa di pendam. iya benar, harus di pendam dan di kunci .

Tanpa sadar, merangkak perlahan demi merebut jawaban dari cerita tentang kepekaan. Kenapa masih saja kenapa. Hati benar tak tau mau mengatakan kalau yang di rasa itu . Dari satu cerita yang memang ada tak mungkin mati di jelaskan pun takkan abadi. Ternyata Asmara masih membungkam pikiran yang singgah di hati tadi. Berat sungguh benar.

Berlalu lah jika memang harus, kenapa masih tersangkut di relung batin yang lemah ini. Kau tak Ibah melihat aku harus terpenjara dalam kepekaan? kau begitu tega, jahat dalam lembut begitulah sepertinya. Aku harus membicarakan ini dengan hati yang lemah. Kau mengertikan apa yang ku maksud? Kau mengajariku mengenal arti kepekaan kau juga harus tau peka itu kau yang membuatnya. 

Aku senang dengan ini, aku sedih dengan ini Tapi, kau sungguh tak peduli hanya membiarkanku menanam dan membiarkan kepekaan ini berjamur di darahku yang memar akan perasaan ini. Aku dan hati sama-sama lemah akan kepekaan ini, kau tau aku harus menahan ini demi darahku yang merah agar menjadi segar. Kau jangan mengubahnya lagi dengan akhirnya darahku lemah dan menjerit ketakutan. Tak baik kan kalau kau harus menyuruhku mengawasi kegundahan ini. 

Biarkan aku merajutnya dengan kesendirianku, biarkan saja aku harus menanggung beban yang kecil ini menjadi berjamur di darahku. Satu hal kau harus tau, Senang sedih itu sudah takdir Tuhan.

-- Fikri Ibrahim Hrp

Tidak ada komentar:

Posting Komentar